Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck



Beberapa hari yang lalu saya mendapat tawaran untuk menonton film terbaru produksi soraya films ini oleh teman saya, awalnya sih males-malesan soalnya memang ngga tertarik dari judulnya apalagi untuk mencari tahu tentang ceritanya. Gimana ya, habis semakin lama semakin sedikit film Indonesia yang bermutu.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah film karya soraya films yang diangkat dari sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka yang pertama kali dirilis sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus mengalami cetak ulang sampai saat ini sejak terbit pertama kali sebagai novel pada tahun 1939 . Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Cerita Versi Novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”
            Seperti pada umumnya, sebuah film yang diangkat dari sebuah novel pasti memiliki sedikit banyak perbedaan cerita. Berikut adalah cerita novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang saya kutip dari wikipedia.
Perdebatan mengenai harta warisan antara Pendekar Sutan dengan mamaknya berujung pada kematian. Akibat membunuh mamaknya, Pendekar Sutan diasingkan dari Batipuh ke Cilacap selama dua belas tahun. Setelah bebas, Pendekar Sutan memilih menetap di Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah. Akan tetapi, setelah memperoleh seorang anak bernama Zainuddin, Daeng Habibah meninggal dan, tak lama setelah itu, Zainuddin menjadi yatim piatu.
Ketika beranjak remaja, Zainuddin meminta izin kepada pengasuhnya, Mak Base untuk berangkat ke Minangkabau, ia telah lama ingin menjumpai tanah asal ayahnya di Batipuh. Namun, kedatangan Zainuddin tidak mendapatkan sambutan baik di tengah-tengah struktur masyarakat yang bernasabkan kepada ibu itu. Ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau karena meskipun berayah Minang, ibunya berasal dari Bugis. Akibatnya, ia merasa terasing dan melalui surat-surat ia kerap mencurahkan kesedihannya kepada Hayati, perempuan keturunan bangsawan Minang yang prihatin terhadapnya.
Setelah Zainuddin dan Hayati sama-sama mulai jatuh cinta, Zainuddin memutuskan pindah ke Padang Panjang karena mamak Hayati memintanya untuk keluar dari Batipuh. Sebelum berpisah, Hayati sempat berjanji kepada Zainuddin untuk selalu setia. Sewaktu Hayati berkunjung ke Padang Panjang karena hendak menjumpai Zainuddin, Hayati sempat menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Namun, sekembali dari Padang Panjang, Hayati dihadapkan oleh permintaan keluarganya yang telah sepakat untuk menerima pinangan Azis, kakak Khadijah; Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Meskipun masih mencintai Zainuddin, Hayati akhirnya terpaksa menerima dinikahkan dengan Aziz.
Mengetahui Hayati telah menikah dan mengkhianati janjinya, Zainuddin yang sempat berputus asa pergi ke Jawa bersama temannya Muluk, tinggal pertama kali di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka akhirnya menjadi berantakan. Setelah Aziz dipecat, mereka menumpang ke rumah Zainuddin, tetapi Aziz lalu bunuh diri dan dalam sepucuk surat ia berpesan agar Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin tidak memaafkan kesalahan Hayati. Hayati akhirnya disuruh pulang ke Batipuh dengan menaiki kapal Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam, dan setelah Zainuddin mendengar berita itu ia langsung menuju sebuah rumah sakit di Tuban. Sebelum kapal tenggelam, Muluk yang menyesali sikap Zainuddin memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya. Namun tak lama setelah Zainuddin datang, Hayati meninggal. Sepeninggal Hayati, Zainuddin menjadi sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal. Jasadnya dimakamkan di dekat pusara Hayati.

Film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”
Film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck jadi film termahal Soraya Intercine Films, yang dibuat semirip novelnya. Sosok Zainuddin diperankan oleh Herjunot Ali, yang sukses membuat saya terperangah dengan kemampuan aktingnya dan tentu saja menghafal skrip yang panjang dalam satu scene. Keren banget!
Sosok Hayati, seorang gadis cantik berdarah asli minang yang dicintai Zainuddin diperankan oleh Pevita Pearce. Untuk menggambarkan sosok Hayati, Pevita memang cocok karena kecantikkannya tapi kalau untuk akting saya kurang suka. Sosok Aziz yang kaya dan terpandang namun sering mabuk-mabukkan dan berjudi sukses diperankan oleh Reza Rahardian sebagai suami Hayati, kakak dari Khadijah .
Setelah menonton film ini saya pribadi merasa puas dengan keunikan yang disajikan. Meskipun dilatari pada tahun 1960an, menurut saya soraya films cukup berhasil membungkusnya menjadi satu sajian yang fresh dengan dukungan tata musik dan akting artis pendukungnya. Jujur saya sempat dibuat merinding dengan akting Herjunot Ali yang memerankan sosok Zainuddin dalam kisah ini. Tapi sayangnya saya kurang suka dengan akting Pevita Pearce sebagai Hayati, terutama saat adegan dimana Zainuddin mengalami depresi berat karena ditinggal Hayati. Untuk seorang kekasih yang yang melihat orang yg dicintai terpuruk karena ia tinggalkan, air matanya seperti kurang tulus dan sedikit diperas-peras, hehe baju kali ah.
Selain itu adegan-adegan di kapal juga kurang jelas, editannya masih kasar seperti film laga indosiar yang naik elang. Yang agak rancu, tiba-tiba kapal yang dinaiki Hayati tengelam tanpa diberitahu penyebabnya.
Dibalik kekurangannya saya tetap suka dengan kisah cinta ala zaman dahulu yang disajikan film ini. Nggak mainstream, hehe. Seperti yang sempat saya singgung di atas, cerita dalam film ini agak berbeda dengan versi novelnya. Seberapa jauh perbedaannya silahkan anda nilai sendiri dengan menononton filmnya. Yuk nonnton filmnya dan jangan lupa bawa tisue!


Referensi:
http://www.muvila.com/read/film-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck-dibuat-semirip-novelnya

0 komentar:

Posting Komentar

NO SPAM / NO OFFENCE
- Please Respect Author -

--- GoDian --